Sunday, April 19, 2015

Mixed Up II

Miracle does come. Semenjak kejadian di PotHead malam itu, gue berubah. Gue yang udah yakin kalau gue kebal sama yang namanya sakit hati, ternyata salah. Gue masih belom kebal sama yang namanya sakit hati. Gue kembali mengarungi hari-hari gue di Jakarta dengan perasaan campur aduk, nggak karuan, nggak tau mau ngejelasinnya pakai kata-kata yang mana, yang bisa mewakili perasaan ini. Gue jadi nggak fokus dengan kerjaan gue. Gue ngeliat banyak banget kesalahan yang gue buat dalam report gue. Schedule gue training di New York udah tinggal itungan hari, tapi gue masih belom bisa nyelesain beberapa report yang udah diujung hari. Sansan udah banyak ngebantu gue dalam beberapa report tapi itu masih belom cukup. Sampai pada akhirnya gue nyelesain itu semua dengan hasil yang kurang maksimal.

Nick salah satu boss gue di Jakarta ngadain farewell dinner untuk gue and Sansan. Dia berterima kasih banyak atas bantuan gue and Sansan selama di Jakarta untuk mengelola management yang lagi kekurangan orang itu. Gue cukup diam untuk beberapa hari ini. Kapasitas bicara gue sengaja gue batasi untuk membangun image yang bagus. Tapi, sebenernya gue mengurangi kapasitas bicara gue itu karena gue memang lagi nggak mood untuk basa basi busuk sama orang-orang. Toh, mereka juga perlu gua di Jakarta bukan untuk stand up comedy. Hahaha.

Last day in Jakarta. I packed my bag. I looked around. Well, Jakarta taught me something. Jangan terlalu merasa lebih dari pada orang lain, karna sebenernya gue sama bagusnya dengan mereka. I smiled as I lit my last cigar.

---------------------------

Gue beruntung bisa balik ke KL dulu sebelum global training gue di New York. Gue kangen masakan Mbak Marni. Gue ngebeliin dia oleh-oleh yang pasti dia suka. Gue nggak tau ukuran sepatunya berapa, ukuran bajunya berapa. So I decided to buy her a new bag. Seneng rasanya ngeliat muka sumbringah Mbak Marni ketika dia ngebuka kotak tas bertuliskan Gucci. I bet this is her first Gucci as she stood still unspoken with her eyes staring at me saying a thousand words. "Mas, ini nggak salah nih ? Ini beneran buat Marni apa buat Ibu (Read: Nyokap gue) ??", akhirnya Mbak Marni buka suara. "Ya buat Mbak Marni lah, saya makasih banget udah dijagain rumahnya tiga bulan ini sama Mbak dan besok saya harus ke New York dua bulan untuk training sama ada urusan sebentar. Mbak Marni nggak apa kan kalau saya tinggal dua bulan lagi ?", gue ngomong sambil ngerasa seneng ngeliat dia begitu antusias dengan tas barunya. Mba Marni ngangguk-ngangguk sambil nanya, "Mas, New York itu dimana ? Kok harus sampai dua bulan sih ?". Gue cuma bisa senyum sambil ngeluarin laptop gue dan mulai ngetik New York di situs google.

-------------------------

"He just being himself, a lonely brit with posh lifestyle that everyone dying to have" Sansan mencoba mencairkan suasana. Gue hirup dalam-dalam sebatang rokok terakhir sebelum last call dari operator flight ternama terdengar diseluruh penjuru bandara, memanggil kita berdua untuk segera memasuki pesawat.

"He is not British and he is the darkest minded people that I have ever met" Gue mencoba untuk memenangkan opini gue dengan sedikit berpolitik dan menyambung-nyambungkan semua masalah yang belakangan ini terjadi.

It's going to be a really long flight to New York ever with Sansan sit beside me, gue mulai ngedumel dalem hati. Gue udah siap untuk nyuekin dia selama perjalanan ke New York karna gue males banget sama dia. Kejadian di PotHead itu nggak mungkin terjadi kalau Sansan nggak ngasih kerjaan lebih ke gue malem itu, kejadian itu pula nggak bakalan terjadi kalau dia nggak so soan nungguin gue balik terus ngajakin gue dinner, kejadian itu juga nggak bakalan terjadi kalau dia nggak nanya-nanya tipe cowok kaya apaan yang gue suka. Nah, gue ada ide untuk bales dendam, gue bakalan nyuekin dia totally nyuekin. Tapi apa daya, ternyata special request millage langganan gue itu ngerecord favorite seat gue near by the window dan Sansan pun secara otomatis duduk dideket jalan keluar. Gue yang beser pipis ini udah nahan pipis dari semenjak episode ke dua of HIMYM dan sekarang jalan setengah episode ke empat. Gue udah nggak tahan, gue harus pipis.
"Sorry, I have to go to the lavatory ...", sambil ngelipet meja kursi gue ke senderan tangan Sansan. "There you go, I thought you're not going to talk to me at all, hehe ..." Sansan mulai ngajakin ribut. Gue cuma bales omongan dia dengan senyum sacarstic andalan gue. Duh, gagal maning. Gue cuma akan ngomong sama dia kalau gua mau permisi ke lavatory aja, iya pokoknya cuma itu aja. Selebihnya gue bakalan nyuekin dia. Beberapa jam pun berlalu, gue yang udah keabisan gaya mencoba untuk tidur manis dengan bantuan obat tidur yang selalu gue bawa kalau mau take a long flight. Gue nggak bisa liat apa-apa dari jendela gue, yang gue bisa liat itu cuma gelap, kaya hati gue saat ini. Lebay banget gak sih ? But that's the truth. Duh, kenapa gue musti ketemu si Pascal sih ? Itikad baik untuk move on kan jadi luluh lantah. Gue ngeliat ke arah Sansan yang udah tidur nyenyak. Ni anak kalau tidur cakep deh, kerutan disekitar matanya udah mulai keliatan, menambah kejantanan seorang lelaki yang sudah mau memasuki usia tiga puluhan. Bulu-bulu halus disekitar mukanya, hidung yang mancung, bibir yang tipis dan alisnya yang lebat manambah kesan jantan. Shame, he would wake up anytime soon. Haha jahat banget ya gue. Bodo ah, he deserves it.

-------------------------

As soon as we landed at JFK, kita langsung ke hotel. Gue capek banget, padahal cuma duduk sama tidur aja kerjaan gue di pesawat tapi entah kenapa gue capek. Four Seasons has always be me fav hotel in New York but when I stepped into The Waldorf Astoria, I moved on. My heart beat has increased, I knew I'm in love with this hotel. Bagus banget, gue ngarasa lagi dijaman kejayaan New York tahun 1900an. Gue yang lagi kegirangan ngeliatin sudut-sudut ruangan di lobby hotel dikejutkan dengan kehadiran Sansan dengan muka yang sinis. "Lu norak banget sih kaya yang baru dateng ke Astoria aja", Sansan mulai ngajakin perang. Ngeliat muka dia dengan bitchy tanpa memperdulikan kata-kata Sansan sedikit pun, gue ngelanjutin kegiatan norak gue sebelumnya. Ini hotel bagus banget, gue jadi pengen pindah kesini. Kalau di Jakarta, gue punya temen yang tinggal di Da Vinci tapi itu bangunan baru yang dibuat ala ala jaman dulu, gue rada kurang suka. Tapi kalau ini hotel rasanya beda, rasanya kaya jadi tamu kerajaan. "Bitch, where is my prince ?", gue mulai ngedumel sendiri. Kayanya gak rela kalau gue tidur sendiri dikamar yang disetting untuk romantis-romantisan. Gue udah mulai ngebayangin bakalan happy kalau ada yang pangeran beneran yang nemenin hari-hari gue di NY.

AND TURNS OUT !!! Gue dapet kamar sebelahan sama Sansan yang ada connecting doornya. BANGSATTT !!!!

No comments:

Post a Comment